Rudi Gunawan1), Sukmawaty2), Guyup
Mahardhian Dwi Putra2)
1)Mahasiswa
Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri, Universitas
Mataram
2)Pengajar Program
Studi Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri, Universitas
Mataram
ABSTRAK
Penelitian ini
bertujuan untuk mengamati perubahan kualitas
jamur merang yang meliputi perubahan kadar air, susut
bobot, dan perubahan
sifat fisik (warna dan tekstur) jamur merang pada penyimpanan
dengan kemasan plastik Poliethylen
dan pada suhu pendinginan serta menentukan umur simpan jamur merang
dengan metode arrhenius. Penelitian ini dilakukan dengan metode
eksperimental dengan tiga perlakuan penyimpanan yaitu perlakuan pertama dilakukan penyimpanan pada suhu ruang 29oC
(P0). Perlakuan kedua dilakukan penyimpanan dengan kemasan polyethylene pada suhu ruang (P1), sedangkan perlakuan ketiga dilakukan pendinginan
dengan refrigerator pada suhu 10oC (P2). Data yang
dihasilkan kemudian dianalisa menggunakan analisis regresi. Parameter
yang diamati pada penelitian ini yaitu kadar air, susut bobot, laju respirasi, indeks
warna, tekstur dan pendugaan umur simpan dengan metode arrhenius. Dari hasil
penelitian diperoleh Penurunan kadar air jamur merang
terendah
yaitu pada perlakuan menggunakan kemasan polyethylene pada suhu 10oC sebesar 88,24%, sedangkan penurunan
tertinggi yaitu pada penyimpanan jamur merang pada
suhu ruang sebesar 36,04%. Susut bobot tertinggi yaitu didapat pada
penyimpanan suhu ruang dengan nilai 20,92%. Sedangkan
nilai susut bobot yang terendah diperoleh pada penyimpanan
dengan lemari pendingin pada suhu 10oC (P2) dengan nilai 1,40%. Respirasi
tertinggi terjadi pada penyimpanan suhu ruang/kontrol yaitu
pada hari ke-2 dengan nilai 0.4984
ml ɛ CO2/gr, dan yang terendah yaitu pada akhir penyimpana pada semua
perlakuan. Tekstur jamur merang pada seluruh perlakuan
cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan yang dimana nilai kekerasan terendah ketiga perlakuan yaitu pada penyimpanan
dengan lemari pendingin pada suhu 10oC dengan nilai 0,35 mm. Selama
penyimpanan jamur merang, perlakuan terbaik yang didapatkan yaitu pada
perlakuan menggunakan kemasan polyethylene
dengan penyimpanan di lemari pendingin pada suhu 10oC sehingga mampu menekan penurunan susut bobot, kadar
air, laju respirasi, warna dan tekstur pada jamur merang. Berdasarkan
persamaan Arrhenius, dapat diduga umur
simpan jamur merang pada suhu rendah (10oC)
memberikan umur simpan yang lebih besar dibanding penyimpanan pada suhu ruang
(29oC).
Kata Kunci: Jamur Merang, Penyimpanan, Suhu Rendah, Plastik Pholyetilen, Model Arrhenius, dan Umur Simpan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di Indonesia, jamur memiliki
banyak sekali jenis dan telah banyak dibudidayakan, akan tetapi hanya beberapa
yang dapat dikonsumsi salah satunya adalah jamur merang. Jamur merang merupakan
salah satu komoditas yang mempunyai prospek sangat baik untuk dikembangkan di
Indonesia, baik untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri. Jamur merang
adalah salah satu jenis jamur yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat
luas. Jamur merang sangat diminati baik oleh para konsumen maupun pelaku usaha.
Selain mengandung nilai protein dan gizi yang tinggi, jamur merang dapat dikonsumsi
seutuhnya baik batang ataupun bagian dari tudung jamur. Oleh sebab itu, jamur
merang mempunyai prospek yang cukup baik untuk dikembangkan serta untuk
memenuhi kebutuhan pasar.
Komoditas hasil pertanian
khususnya jamur merang merupakan komoditas yang akan cepat layu atau membusuk,
apabila disimpan tanpa penanganan yang sesuai dan tepat. Penanganan tersebut
harus dilakukan segera setelah panen agar tidak mendatangkan kerugian, dan pada
umumnya kerugian yang ditimbulkan karena jamur merupakan salah satu produk
hortikultura yang masih tetap hidup dan meneruskan proses metabolisme serta
repirasi setelah panen. Jamur merang memiliki umur simpan yang pendek atau
cepat mengalami kerusakan. Untuk jamur merang segar yang tidak diberi perlakuan
atau hanya dibiarkan dalam suhu ruang, hanya memiliki umur
simpan selama 2-3 hari
lalu jamur akan mengalami kerusakan dan menjadi tidak layak utuk
dikonsumsi. Hal ini menjadi permasalahan pada penyediaan jamur
merang segar dengan kondisi yang masih bagus.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah:
1. Mengamati
perubahan laju respirasi dari jamur merang selama penyimpanan dengan kemasan plastik
poliethylen
dan pada suhu pendinginan.
2. Menganalisa
perubahan kualitas jamur merang yang meliputi perubahan kadar air, susut bobot, dan perubahan
sifat fisik (warna dan tekstur) jamur merang selama penyimpanan dengan kemasan plastik
Poliethylen dan pada suhu
pendinginan.
3. Menentukan umur simpan jamur merang dengan metode
arrhenius.
1.3. Manfaat
Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Dapat diperoleh data mengenai perubahan sifat
teknik jamur merang selama penyimpanan dengan kemasan plastik Poliethylen
dan suhu pendinginan.
2. Mengetahui
laju respirasi yang terjadi pada jamur merang selama penyimpanan dengan kemasan plastik
Poliethylen dan pada suhu
pendinginan.
3. Memberikan informasi mengenai umur simpan jamur merang
4. Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya mempertahankan mutu dan menambah umur simpan jamur merang.
5. Hasil
penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai informasi tambahan bagi
peneliti selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Jamur
Merang
Jamur
merang (Volvariella volvaceae) merupakan spesies jamur tropis dan subtropis yang paling dikenal dan disukai, terutama oleh masyarakat Asia
Tenggara. Jamur merang telah banyak dibudidayakan untuk pangan karena
memiliki rasa dan tekstur yang baik (Sinaga, 2001). Jamur merang termasuk
tumbuhan yang tidak berklorofil atau tidak memiliki hijau daun sehingga bersifat
saprofit. Sebagai tumbuhan saprofit, jamur merang hidup dengan memanfaatkan
senyawa-senyawa seperti protein, glukosa, pati, selulosa, dan lignin yang
diperoleh dari bahan mati (Cahyono, 2004).
Jamur merang dapat tumbuh dengan baik pada suhu 28-34°C dan kelembaban 80-95%. Ketergantungan hidup pada suhu dan kelembaban tertentu
serta teknik budidaya yang tepat inilah yang mendukung dapat dijumpainya jamur
merang pada berbagai musim sepanjang tahun. Menurut Mau et al., (1997), pemanenan jamur merang dapat
diklasifikasikan
menjadi lima tingkatan yaitu : tingkat 1 (bentuk telur), tingkat 2 (bentuk
lonceng), tingkat 3 (volva mulai terbuka), tingkat 4 (batang dan tudung
mulai memanjang), dan tingkat 5 (volva terbuka seluruhnya) (Gambar 1)
(tingkat
1) (tingkat 2) (tingkat 3)
(tingkat 4) (tingkat 5)
Ketika jamur merang bertambah dewasa akan membuat seluruh bagian tubuhnya tampak jelas. Batang dan tudung yang semula kecil akan bertambah besar sehingga selubung universal yang menyelimuti seluruh bagian jamur akan semakin menipis hingga pecah. Selubung universal tersebut tidak akan terpisah dari tubuh jamur melainkan akan tertinggal melekat di bagian bawah dasar tangkai dengan bentuk volva atau cawan (Kanraiyan dalam Puguh, 2007).
2.2.
Kandungan
Gizi Jamur Merang
Nilai gizi dari jamur merang cukup
lengkap karena mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan beberapa mineral
yang penting bagi pertumbuhan tubuh manusia. Hasil analisa kandungan nutrisi
jamur merang segar yang dilakukan di laboratorium Food and Nutrition
Research Institute Philiphines dapat dilihat pada Tabel 1. Menurut data
yang dihimpun Badan Standarisasi Nasional (BSN) pada tahun 2013 jamur merang
segar memiliki standar mutu berdasarkan SNI 01-6945-2013. Standar mutu jamur
merang segar berdasarkan SNI 01-6945-2013 dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Tabel
1. Hasil Analisa Nutrisi Jamur Merang Di Laboratorium Food And Nutrition Research Institute Philiphines
Nutrien per 100 gr |
Unit |
Kondisi segar |
jamur merang |
||
Air |
% |
88,70 |
Energi |
Kalori |
39,00 |
Protein |
Gram |
3,80 |
Lemak |
Gram |
0,60 |
Total Karbohidrat |
Gram |
6,00 |
Serat |
Gram |
1,20 |
Abu |
Gram |
1,00 |
Kalsium |
Miligram |
3,00 |
Besi |
Miligram |
1,70 |
Asam askorbat |
Miligram |
8,00 |
Sumber : Yusanto
(2001) |
Kadar protein pada jamur merang lebih
tinggi dibandingkan dengan beberapa jenis sayuran. Kandungan protein pada jamur
merang walaupun tidak setinggi protein hewani telah sebanding dengan kandungan
protein pada susu. Perbandingan kandungan gizi jamur merang dengan beberapa
bahan makanan lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur Merang Dengan Bahan Pangan Lain
Bahan |
Kadar Protein |
Kadar Lemak |
Karbohidrat |
(%) |
(%) |
(%) |
|
Jamur Kuping |
4,80 |
0,20 |
3,50 |
Jamur Merang |
3,80 |
0,60 |
0,90 |
Susu Sapi |
3,20 |
3,50 |
4,30 |
Telur Ayam |
12,80 |
11,50 |
0,70 |
Daging Sapi |
18,80 |
14,00 |
- |
Kangkung |
3,00 |
0,30 |
5,40 |
Bayam |
3,50 |
0,50 |
6,50 |
Buncis |
2,40 |
0,20 |
7,70 |
Sumber : Yusanto
(2001) |
Tabel
3. Klasifikasi Ukuran Jamur Merang Segar Berdasarkan SNI 01-6945-2013
Kultivar |
Besar |
Sedang |
Kecil |
|||
Diameter |
Berat |
Diameter |
Berat |
Diameter |
Berat |
|
(cm) |
(gr) |
(cm) |
(gr) |
(cm) |
(gr) |
|
Jamur Merang |
>3 |
40-70 |
2-3 |
25-40 |
1-1,99 |
10-25 |
(Volvariella volvacea) |
|
|
|
|
|
|
Sumber : Mahmud (2016) |
Tabel
4. Persyaratan Mutu Jamur Merang Segar Berdasarkan SNI 01-6945-2013
No. |
Jenis Uji |
Satuan |
Persyaratan Mutu |
||
Mutu A |
Mutu B |
Mutu C |
|||
1 |
Kesegaran kultivar |
% |
100 |
100 |
100 |
2 |
Tingkat ketuaan |
- |
Tua |
Tua |
Tua |
3 |
Kekerasan |
- |
Cukup keras |
Cukup keras |
Cukup keras |
4 |
Keseragaman Ukuran |
% |
95 |
90 |
85 |
5 |
Jamur merang busuk max |
% |
0 |
0 |
0 |
6 |
Panjang tangkai jamur max |
cm |
0 |
0 |
0 |
7 |
Kadar kotoran |
% |
0 |
0 |
0 |
Sumber : Mahmud (2016) |
2.3.
Pemanenan
Pada
hari ke-8 sampai ke-12 setelah penanaman bibit sebar, tubuh jamur merang telah
mencapai stadia kancing (kuncup) dan siap dipanen. Pemanenan dilakukan pada
pagi dan sore hari untuk menghindari terjadinya jamur merang yang mekar. Jamur
merang yang mekar tidak laku dijual atau harganya rendah serta mudah busuk.
Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut seluruh bagian tubuh buah bagian bawah
yang menempel pada substrat secara hati-hati. Tubuh buah bagian bawah tidak
boleh tersisa menempel pada substrat, karena akan menyebabkan terjadinya
kontaminasi pada substrat, sehingga tubuh buah yang akan tumbuh berikutnya akan
membusuk (Etty Sumiati dan Diny D.,
2007 ).
2.4. Teknologi Penanganan Pascapanen
Penanganan
setelah panen bertujuan untuk mempertahankan mutu hasil panen agar tetap dalam
kondisi baik sampai ke tangan
konsumen dan untuk mengawetkan hasil panen agar tahan beberapa waktu sebelum
sampai pada konsumen, serta mengurangi resiko kerugian yang diderita petani.
Petani atau pelaku bisnis dapat memilih teknik penanganan jamur merang sesuai
dengan tujuannya. Beberapa teknik penanganan pasca panen yang dapat dipilih
adalah bentuk segar, bentuk awetan, dan bentuk olahan segar (Sinaga 2001).
2.4.1.
Bentuk Segar
Jamur
merang mempunyai umur simpan kurang dari satu hari atau maksimum satu hari,
artinya beberapa jam setelah dipanen, jamur merang menjadi lembek, berubah
warna, dan membusuk meskipun jamur dipanen pada stadia tudung jamur masih
kuncup. Sifat seperti itu menyulitkan petani dan pedagang dalam melakukan
bisnisnya. Hal ini terjadi terutama jika hasil panen melimpah melampaui daya
tampung pembeli. Oleh karena itu perlu dicarikan jalan keluar untuk
menyelamatkan produk jamur merang tersebut.
2.4.2.
Pengawetan dengan pengaturan temperatur
Menurut
Sinaga (2001) ada beberapa cara pengawetan dengan pengaturan temperatur yaitu :
a)
Jamur merang dikemas dengan kain batis (cheese cloth), kemudian disimpan dalam
lemari es pada suhu 15oC.
b)
Jamur merang dikemas dalam kotak styrofoam yang pada bagian dasarnya diberi es.
c)
Jamur merang dalam peti kayu yang diberi
es pada sisi kanan dan kirinya dan jamur merang disimpan di tengah peti.
d) Jamur
merang diletakkan di keranjang bambu yang diberi dry ice
terbungkus kertas yang diletakkan di atas jamur merang dengan saluran udara
pada pusat keranjang (di tengah - tengah).
e)
Jamur dibekukan dalam ruangan bersuhu
5,5oC dengan kelembaban tinggi (80-90 %)
f)
Jamur merang dikemas dalam wadah datar
yang dialasi daun pisang.
2.5.
Perubahan
Fisiologis Pascapanen Jamur
Komoditas
jamur umumnya bersifat perishable
(mudah rusak) sehingga harus ditangani secara baik dan benar serta hati-hati
agar penurunan mutu dan kehilangan hasil dapat ditekan. Setelah panen jamur
masih melakukan proses respirasi sehingga sering terjadi perubahan-perubahan
fisiologis yang menyebabkan jamur tidak layak dikonsumsi. Perubahan-perubahan
yang terjadi diantaranya adalah pengerutan, pemekaran, pencoklatan (browning), berair, kehilangan air,
perubahan tekstur, aroma dan flavor.
Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi karena proses metabolisme,
reaksi-reaksi kimia, atau pertumbuhan mikroorganisme kontaminan yang terus
berlangsung dalam jaringan selama penyimpanan. Beberapa faktor yang menyebabkan
menurunnya mutu jamur pascapanen, antara lain adalah ( Indartiyah dkk, 2011) :
2.5.1.
Penurunan Kadar Air
Jamur
memiliki kandungan air yang tinggi yaitu antara 85% sampai 95% sehingga penurunan
lebih dari 5-10% setelah panen akan sangat berpengaruh pada kualitas produk. Kehilangan
air akan menjadi sangat cepat dengan adanya respirasi dan transpirasi. Laju kehilangan air tergantung pada : 1)
struktur dan kondisi jamur; 2) suhu dan kelembaban lingkungan; dan 3) gerakan udara
dan tekanan udara. Air lebih mudah menguap pada tekanan rendah, dan laju
evaporasi berbanding terbalik dengan tekanan udara. Pengaruh utama kehilangan air
adalah kelayuan dan pengerutan, tekstur menjadi liat, berkurangnya rasa dan
akhirnya tidak dapat dimakan.
2.5.2.
Perubahan warna
Perubahan
warna pada jamur dapat diakibatkan oleh kerusakan mekanis pada saat panen, pengupasan, pencucian, kelayuan atau pertumbuhan mikroorganisme seperti
bakteri pembusuk. Seperti halnya sayuran dan buah-buahan lainnya,
maka jamur juga dapat mengalami pencoklatan akibat kerusakan jaringan dengan
adanya O2 selama pengupasan.
Jamur jika didiamkan begitu saja dalam ruangan terbuka, lama kelamaan akan
berubah warna menjadi coklat, karena
pada jamur terdapat enzim polifenol oksidase, sehingga kehadiran O2 dan
substrat akan mengkatalisa oksidasi komponen fenolik menjadi quinon yang
berwarna coklat, kemudian bergabung dengan asam amino derivatif membentuk
kompleks melanoidin yang berwarna coklat dan disebut dengan enzymatic browning. Reaksi ini dapat
dikontrol dengan penginaktifan enzim oleh panas, SO2 atau perubahan
pH dengan penambahan asam. Reaksi pencoklatan jamur juga dapat dikontrol dengan
penyimpanan pada suhu rendah. Jamur apabila disimpan di tempat yang terbuka
lama-kelamaan akan berubah menjadi coklat. Kondisi CO2 yang tinggi
di dalam kemasan dapat pula menyebabkan perubahan warna (penguningan jamur).
2.5.3.
Proses Respirasi
Kegiatan
respirasi terus berlangsung walaupun produk telah dipanen dan selalu mengakibatkan perubahan-perubahan fisiologis yang menyebabkan kerusakan. Respirasi merupakan
pemecahan bahan-bahan kompleks di dalam sel, seperti pati, gula, dan asam-asam organik
menjadi molekul yang sederhana seperti CO2 dan air bersamaan dengan terbentuknya
energi dan molekul lain yang dapat digunakan oleh sel untuk metabolisme. Laju respirasi
dipengaruhi oleh umur panen, suhu penyimpanan, komposisi udara, adanya luka serta komposisi
bahan kimia. Umumnya setiap peningkatan suhu
10oC maka laju respirasi meningkat 2 (dua) kali lipat, tetapi pada
suhu diatas 35oC laju respirasi menurun karena aktivitas enzim terganggu
yang mengakibatkan difusi oksigen terhambat. Golongan jamur tergolong produk yang
memiliki laju respirasi tinggi sehingga setelah panen akan cepat mengalami kerusakan.
Laju respirasi yang tinggi biasanya dihubungkan dengan umur simpan yang pendek dan
menyebabkan mutu produk cepat menurun.
2.5.4.
Pemekaran Tudung
Mekarnya tudung pada jamur
merang terjadi akibat masih terus berlangsungnya aktivitas metabolisme setelah jamur
dipanen yang menyebabkan kadar lemak dan serat meningkat sehingga tekstur dan
cita rasa menjadi kurang disukai, dan nilai energi yang dihasilkan jamur pun
menjadi berkurang. Pemekaran tudung dapat terjadi karena suhu lingkungan
sekitar yang tinggi, pencahayaan yang berlebih, dan juga kadar pH yang terlalu asam
atau basa. Pemekaran tudung pada jamur
merang harus dihindari karena dapat menurunkan mutu dan harga jualnya. Untuk menghindari
pemekaran tudung, maka kondisi lingkungan harus dijaga, dan kegiatan pemanenan sebaiknya
dilakukan di pagi atau sore hari.
2.6.
Kadar Air
Kadar air merupakan
banyaknya air yang terkandung dalam bahan dan dinyatakan dalam persen. Kadar
air juga termasuk salah satu
karaktersitik yang sangat penting pada bahan, karena kadar air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa bahan. Kadar air dalam bahan
ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan tersebut, kadar air yang tinggi
dapat menyebabkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir sehingga akan terjadi
perubahan pada bahan pangan (Winarno, 1979).
2.7.
Laju Respirasi
Respirasi adalah proses
oksidasi glukosa menggunakan oksigen O2 dari udara sehingga
menghasilkan karbondioksida CO2, air H2O dan sejumlah
energi seperti yang digambarkan pada persamaan berikut:
Menurut
Pantastico (1997), laju respirasi merupakan petunjuk
yang baik untuk daya simpan buah setelah dipanen. Intensitas laju respirasi
dianggap sebagai ukuran laju metabolisme sehingga dianggap sebagai ukuran
potensi daya simpan buah. Semakin tinggi laju
respirasi, biasanya diikuti dengan semakin pendek umur simpannya. Selama proses respirasi berlangsung
terjadi perubahan fisik, kimia dan biologi misalnya proses pematangan,
pembentukan aroma dan kemanisan, pengurangan keasaman, pelunakan daging buah
dan pengurangan bobot. Bila proses respirasi terus berlanjut buah akan mengalami kelayuan dan akhirnya akan terjadi
pembusukan yang ditandai oleh hilangnya nilai gizi dan faktor mutu buah
(winarno, 1979).
2.8.
Sifat-sifat Bahan
Pengemas
Salah satu tujuan pengemasan
adalah untuk mengurangi kerusakan fisik. Bentuk dan ukuran alat kemas sangat
berpengaruh terhadap tercapainya tujuan pengemasan. Karena bentuk dan
ukuran alat pengemas berpengaruh terhadap kapasitas. Ukuran kemasan dengan
kapasitas besar dapat meningkatkan kerusakan fisik. Hal ini akibat dari banyaknya daya muat, sehingga memperbesar gesekan dan tindihan.
Untuk mengurangi kerusakan-kerusakan selama pengemasan diperlukan alat bantu.
Alat tersebut dapat berupa penyekat, pengganjal, atau berupa alas. Bahannya
dapat terbuat dari kertas, ketas tisu, atau busa plastik (Tim Penulis PS, 1992).
Beberapa faktor yang penting
diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut,
keadaan lingkungan dan sifat bahan pengemas. Sifat bahan pangan antara lain
adalah adanya kecenderungan untuk mengeras dalam kadar air dan suhu yang
berbeda-beda, daya tahan terhadap cahaya, oksigen, dan mikroorganisme. Bahan
kemasan plastik dibuat dan disusun melalui proses yang disebut polimerisasi
dengan menggunakan bahan mentah monomer yang tersusun sambung-menyambung
menjadi satu dalam bentuk polimer. Plastik juga mengandung beberapa bahan aditif yang
diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia plastik itu sendiri.
Bahan aditif yang ditambahkan tersebut disebut komponen nonplastik yang berupa
senyawa anorganik atau organik yang memiliki berat molekul rendah. Bahan
pengemas harus tahan terhadap serangan hama atau binatang pengerat dan bagian
dalam kemasan yang berhubungan langsung dengan bahan pangan harus tidak berbau,
tidak mempunyai rasa, serta tidak beracun. Selain itu bahan pengemas tidak
boleh bereaksi dengan komoditi (Winarno dan Jennie, 1983).
Polyethylen merupakan film yang lunak,
transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan serta kekuatan sobek yang
baik. Dengan pemanasan akan menjadi lunak dan mencair pada suhu 110oC.
Berdasarkan sifat permeabilitasnya yang rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang
baik, polyethylen mempunyai ketebalan 0.001
sampai 0.01 inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan, karena
sifatnya yang thermoplastik, polyethylen mudah dibuat kantung dengan
derajat kerapatan yang baik. Konversi etilen menjadi polyethylen secara komersial semula dilakukan dengan tekanan tinggi, namun
ditemukan cara tanpa tekanan tinggi. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
etilen polimerisasi Polyethylen
Polyethylen dibuat dengan proses
polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh dari hasil samping dari
industri minyak dan batubara. Proses polimerisasi yang dilakukan ada dua macam,
pertama dengan polimerisasi dijalankan dalam bejana tekanan tinggi (1000-3000 atm)
menghasilkan molekul makro dengan percabangan yakni campuran dari rantai lurus
dan bercabang. Kedua, polimerisasi dalam bejana bertekanan rendah (10-40 atm)
menghasilkan molekul makro berantai lurus dan tersusun paralel (Syarief et
al, 1989).
2.9.
Pengemasan dan
Penyimpanan
2.9.1.
Pengemasan
Pengemasan bahan pangan
merupakan suatu bidang spesialisasi tersendiri. Suatu kemasan itu mempunyai
banyak fungsi. Empat pertimbangan yang penting dari suatu kemasan adalah
perlindungan terhadap bahan pangan, ekonomi kemasan, kemudahan kemasan, dan
kenampakannya (Desrosier, 1988). Pengemasan produk bertujuan untuk mengurangi
kerusakan, memberi kemudahan dalam penanganan selanjutnya, memperpanjang masa
simpan, dan memberi daya tarik bagi konsumen. Kemasan harus tetap kuat selama dalam
pengangkutan dan pemasaran (Winarno dan Jennie, 1983). Wadah mungkin dilapisi
dengan alas, bantalan, nampan atau kertas pembungkus untuk menghindari
kerusakan yang disebabkan oleh sentuhan dengan permukaan kasar (Hardenberg,
1986).
Ada sejumlah faktor yang
harus dipertimbangkan bagi suatu kemasan yaitu sifat dari bahan makanan yang
dikemas, kondisi lingkungan yang dapat mengubah kemasan dan isinya harus
diperhatikan, dan bahan-bahan kemasan harus dapat menyesuaikan dengan peralatan
pengolahan yang digunakan. Sifat bahan makanan yang dikemas harus
dipertimbangkan kerena adanya kecenderungan makanan untuk mengikat atau
kehilangan air, kandungan minyak atau lemak bebas dalam makanan, adanya
kecenderungan dari makanan untuk kehilangan cita rasa yang mudah menguap atau
menyerap benda asing, kecenderungan mengeras pada suhu dan kadar air yang
berbeda-beda, kepekaan makanan terhadap kerusakan karena cahaya, kepekaan
makanan terhadap kerusakan karena oksigen udara, kepekaan makanan terhadap
infestasi serangga, pertimbangan ukuran makanan dan pemisahannya. Kondisi
lingkungan penyimpanan juga berpengaruh, hal ini meliputi: kelembaban relatif
ruang penyimpanan, suhu, ventilasi, tekanan, masalah-masalah pergudangan dan
transportasi. Bahan-bahan kemasan harus mempunyai spesifikasi yang berkenaan
dengan daya tahan tekanan, resistensi terhadap koyokan, kelunakan, kemampuan
untuk membuat lipatan mati, kadar air, ketebalan, kemampuan untuk direkatkan,
persyaratan perekatan, faktor transmisi uap air, dan memiliki sifat untuk
pertimbangan lain (Desrosier, 1988).
2.9.2.
Penyimpanan
Kelembaban
udara didalam ruang penyimpanan dapat berhubungan langsung dengan daya tahan
kualitas produk yang bersangkutan. Bila udara kering uap air akan diserap dari
makanan yang sedang disimpan sehingga menyebabkan pelayuan buah-buahan dan
sayuran. Bila udara terlalu lembab makanan akan menjadi rusak terutama bila suhu tidak konstan
(Desrosier, 1988). Menurut Apandi (1984) kebanyakan
buah-buahan tahan baik pada kelembaban relatif 90%, sayuran bahkan lebih tinggi
supaya tidak layu. Menurut Sitinjak, dkk (1993), laju pendinginan tiap komoditi
tergantung atas 4 faktor yaitu jumlah bahan, beda suhu bahan dengan media
pendingin, kecepatan aliran media pendingin, dan macam-macam media
pendingin. Suhu tinggi merusak mutu simpanan buah-buahan dan
sayur-sayuran. Namun suhu tinggi hasil panen tidak dapat dihindarkan
terutama bila pemanenan dilakukan pada hari-hari panas. Pendinginan pendahuluan
merupakan upaya untuk menghilangkan panas lapang. Tujuan
umumnya adalah untuk memperlambat hasil respirasi,
memperkecil kerentanan terhadap serangan mikroorganisme, mengurangi kehilangan air,
dan meringankan beban sistem pendinginan (Pantastico, 1997).
2.10. Pengemasan dengan Polyethylen
Pengemasan adalah salah
satu cara atau perlakuan pengamanan terhadap bahan agar bahan tersebut baik
yang sudah maupun yang belum bisa sampai ketangan konsumen dengan kualitas dan
mutu yang baik. Pengemasan disebut juga sebagai pembungkusan, pewadahan atau
pengepakan yang memegang peranan penting dalam pengawetan bahan. Pengemasan
berfungsi untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan dan distribusi
kemasyarakat. Beberapa bentuk pengemas bahan hasil pertanian yang banyak
digunakan yaitu kemasan yang terbuat dari plastik. Berikut merupakan jenis kemasan plastik yang beredar dimasyarakat (Firman,
2012):
1.
Polyethylene
terepthalate (PET)
Plastik jenis ini
berwarna jernih transparan, kuat, tahan pelarut, kedap gas dan cairan, melembek
pada suhu 800 C. kemasan jenis ini banyak digunakan di botol
mineral, tray biscuit, wadah kosmetik
dll.
2.
High
density Polyethylene (HDPE)
Jenis plastik
ini memiliki sifat bahan
yang lebih kuat,
keras sampai semi fleksibel,
buram, tahan terhadap
bahan kimia dan
cairan, lebih tahan
terhadap suhu tinggi namun disarankan digunakan untuk sekali pakai. Biasanya kemasan ini banyak
dijumpai pada botol kemasan susu berwarna putih, shampo, kursi lipat, wadah es krim dll.
3.
Polyvinyl
chloride (PVC)
Jenis plastik yang sangat
sulit untuk di daur ulang. Sifat plastik PVC kuat, keras, bisa jernih
(tembus pandang), dapat diubah bentuknya menggunakan pelarut, melembek pada suhu 800 C.
berbahaya bagi kesehatan, banyak
ditemukan pada botol kemasan.
4.
Polystyrene
(PS)
Sifat
kemasan ini adalah jernih, berkasa, kaku, mudah patah, buram, melembek pada suhu 950 C, terpengaruh oleh
lemak dan pelarut. Bahan ini harus di hindari, karena berbahaya untuk kesehatan
otak, dan mengganggu hormon estrogen pada
perempuan yang berakibat pada masalah reproduksi. Banyak digunakan pada bahan tempat makan styrofoam,
CD, karton telur.
2.11. Penyimpanan Dingin
Buah-buahan
dan sayuran yang tidak didinginkan pada umumnya rusak dengan cepat dan menjadi
kurang berharga bagi manusia. Bila buah-buahan dan sayuran yang sejenis
disimpan dalam ruangan pendingin, proses-proses hidup dihambat, sehingga
sebagai hasilnya makanan tersebut
akseptabel untuk dimakan manusia
untuk jangka waktu yang lebih lama (Desrosier, 1988). Penyimpanan dingin yang
biasa digunakan ialah dalam refrigerator
dan kamar dingin. Cara ini sangat efektif untuk mencegah kerusakan hasil panen.
Kerusakan hasil panen yang disebabkan oleh
mikroorganisme dapat ditekan oleh suhu rendah. Penyimpanan dalam suhu dingin
merupakan cara terbaik untuk mengawetkan sayuran. Rasa, bau, warna, bentuk,
tekstur, dan nutrisi sayuran biasanya masih seperti semula bila disimpan dalam
suhu dingin. Penyimpanan dalam suhu dingin tidak dapat meningkatkan kualitas
produk. Oleh karenanya, sayuran yang akan disimpan dalam suhu dingin harus
dipanen pada saat kondisi prima (Ashari, 1995).
2.12. Pendugaan Umur Simpan Dengan Metode Arrhenius
Menurut Arpah (2007), umur simpan adalah selang waktu yang menunjukkan antara saat
produksi hingga saat akhir dari produk masih dapat dipasarkan, dengan mutu
prima seperti yang dijanjikan. Institute of Food Technologist mendefinisikan umur simpan sebagai waktu yang
dibutuhkan suatu produk untuk mengalami kerusakan hingga tingkat yang tidak
dapat diterima pada kondisi penyimpanan, proses, dan pengemasan yang spesifik.
Menurut Syarief et al (1989),
faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan pangan yang dikemas adalah :
1.
Keadaan alamiah atau sifat
makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, seperti kepekaan terhadap perubahan kimia internal
dan fisik
2.
Ukuran kemasan dalam
hubungannya dengan volume
3.
Kondisi atmosfir terutama
suhu dan kelembaban
4.
Ketahanan keseluruhan dari
kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan
bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.
Pendugaan umur simpan bahan pangan atau
produk pangan sangat penting untuk mengetahui masa kadaluarsa suatu produk,
yaitu suatu masa bagi produk tidak layak untuk dikonsumsi atau produk tersebut
sudah terdapat dalam kondisi yang tidak sesuai. Metode-metode yang umumnya
digunakan dalam pendugaan umur simpan tersebut adalah metode Arrhenius.
Model Arrhenius merupakan salah satu
model simulasi sederhana untuk menduga laju penurunan mutu produk. Semakin
sederhana model yang digunakan maka biasanya semakin banyak asumsi yang
dipakai. Asumsi untuk penggunaan Persamaan Arrhenius ini adalah (Syarief dan
Halid 1989):
1.
Perubahan faktor mutu hanya
ditentukan oleh satu macam reaksi saja.
2.
Tidak terjadi faktor lain
yang mengakibatkan perubahan mutu.
3.
Proses perubahan mutu
dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya.
4.
Suhu selama
penyimpanan tetap atau dianggap tetap.
Model Arrhenius merupakan pendekatan
yang mengkuantifikasi pengaruh suhu terhadap nilai penurunan mutu dan penentuan
umur simpan. Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan makanan.
Peningkatan suhu sebesar 10°C dapat mempercepat proses penurunan mutu sebesar
dua kali lipat (Arpah 2001). Pendugaan umur simpan dihitung menggunakan
pendekatan Arrhenius (Labuza 1982 dalam Arpah 2001):
k = k0 . e-Ea/RT........................................................................ (1)
Dimana:
K = Konstanta kecepatan reaksi
ko = Konstanta pre-eksponensial
Ea = Energi aktivasi (kal/mol)
R = Konstanta gas 1.986 (kal/mol)
T = Suhu (K)
atau dalam bentuk logaritma :
ln k = ln k0
+ (-Ea/R) 1/T...................................................... (2)
Berdasarkan persamaan di atas, maka akan
diperoleh kurva berupa garis linear pada
plot nilai ln k terhadap 1/T dengan slope –Ea/R seperti pada
gambar berikut ini:
Gambar 2. Grafik antara nilai ln k dan 1/T dalam Persamaan Arrhenius
Nilai umur simpan dapat
diketahui dengan memasukkan nilai perhitungan ke dalam persamaan reaksi ordo nol
atau satu. Menurut Labuza (1982), reaksi kehilangan mutu pada makanan banyak
dijelaskan oleh reaksi ordo nol dan satu, sedikit yang dijelaskan oleh ordo reaksi lain.
1.
Reaksi Ordo Nol
Tipe kerusakan bahan pangan yang
mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi reaksi kerusakan enzimatis, pencoklatan enzimatis
dan oksidasi (Labuza,1982). Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang
konstan. Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan
dan digambarkan dengan persamaan:
t =
............................................................................ (3)
Keterangan:
t = Prediksi umur simpan (hari)
A = Nilai mutu
awal
Ao = Nilai mutu
produk yang tersisa setelah waktu t
2.
Reaksi Ordo Satu
Tipe kerusakan bahan pangan yang
mengikuti kinetika reaksi ordo satu meliputi: ketengikan, pertumbuhan mikroba, produksi off-flavor
(penyimpangan flavor) oleh mikroba
pada daging, ikan, dan unggas, kerusakan vitamin, penurunan mutu protein, dan
sebagainya (Labuza, 1982). Persamaan reaksi ordo satu adalah:
t = ................................................................ (4)
BAB III
METODE
PENELITIAN
3.1. Tempat
dan Waktu Penelitian
Penilitian
ini dilaksanakan pada bulan September
2017 di Laboratorium Teknik Bioproses dan Laboratorium
Kimia dan Biokimia Pangan Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas
Mataram.
3.2.
Bahan
dan Alat Penelitian
3.2.1 Bahan-bahan Penelitian
Adapun bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah jamur merang.
3.2.2 Alat-alat
Penelitian
Adapun alat-alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah timbangan digital, thermometer,
pengemas polyethylen, styrofoam,
alat respirasi, moisture
analyzer, penetrometer, Hunter Lab, oven, cawan, dan refrigerator.
3.3.
Metode Penelitian
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental yang dilaksanakan di
laboratorium.
3.4.
Parameter
Penelitian
Adapun
parameter yang diamati dalam penelitian ini yaitu:
3.4.1. Kadar Air
Kadar air (KA) = x 100%.............................................. (5)
Dimana KAbb adalah kadar air basis basah
(%), A adalah berat cawan (g), B adalah berat cawan dan bahan sebelum
dikeringkan (g), dan C adalah berat
cawan dan bahan setelah dikeringkan (g).
% kadar air bahan = x 100% ............. (6)
Kadar air basis basah (%bb) dapat dihitung menggunakan rumus:
% kadar air bahan = x 100% ........................ (7)
atau
% kadar air bahan = x 100% .......................... (8)
Keterangan:
Mbahan :
berat air dalam bahan (gram)
Mkering : berat bahan kering mutlak
(gram)
Mtotal : berat total (gram)
3.4.2. Laju Respirasi
Penentuan laju respirasi selama penyimpanan
bertujuan untuk mengetahui pola repirasi. Untuk mengukur pola repirasi selama
penyimpanan.
Bahan disimpan pada ruang pendingin (refrigerator)
dengan suhu 10oC dan pada suhu ruangan dalam waktu secukupnya. Perhitungan laju respirasi dilakukan dengan menggunakan rumus. Rumus laju
respirasi yang digunakan sebagai berikut (Karvina, 2016):
........................... (9)
Dimana :
Blanko =
respirasi
tanpa bahan
Sampel =
respirasi menggunakan bahan
0,1 =
konsentrasi HCl
44
= berat molekul CO2
3.4.3. Susut Bobot (Susut Berat)
Pengukuran susut bobot jamur merang dilakukan dengan cara
menimbang berat bahan sebelum dan sesudah proses penyimpanan. Pengukuran
susut bobot dari jamur merang
dilakukan dengan menggunakan timbangan analitik. Pengukuran
dilakukan pada pengamatan
hari ke-0 (X) dan setiap pengamatan (Y) yang dilakukan setiap hari. Hasil susut bobot didapat dengan membandingkan bobot awal dan bobot akhir. Susut bobot jamur merang dinyatakan
dengan persen (%). Tinggi rendahnya nilai penyusutan yang
terjadi pada bahan
dapat dihitung menggunakan rumus berikut:
Susut Bobot (%) = x 100% ........................................... (10)
Dimana :
X = massa bahan sebelum penyimpanan (gram)
Y = massa bahan sesudah penyimpanan (gram)
3.4.4. Sifat
Fisik (Warna
dan Tekstur)
Uji sifat
fisik dilakukan dengan
melakukan penelitian terhadap tekstur,
kenampakan (perubahan warna), pada jamur merang
selama penyimpanan pada beberapa perlakuan.
3.4.4.1.Warna
Bahan
Warna pada bahan
merupakan salah satu penentu bahwa bahan masih segar atau sudah layu. Selama
penyimpanan pada semua perlakuan, pengukuran perubahan warna dilakukan
dengan menggunakan alat hunter Lab atau
Color Solid. Hunter Lab
mempunyai range alat pengukur warna yang akan selalu menjamin
bahwa hasil pengukuran warna oleh alat ukur warna akan senantiasa sama dengan
apa yang dilihat secara visual (kasat mata).
Penggunaan alat diawali dengan pengkalibrasian, alat color solid bekerja secara otomatis dengan memancarkan sinar
inframerah ke bahan sehingga warna pada bahan terdeteksi secara otomatis. Data
warna yang dinyatakan dengan nilai L (kecerahan), a (warna kromatik merah hijau), b (warna kromatik biru kuning). Nilai L, menyatakan kecerahan
(cahaya pantul yang dihasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam), nilai 0 untuk warna hitam
dan nilai 100 untuk warna putih. Nilai a menyatakan warna kromatik merah hijau,
apabila bernilai +a dari 0-100 untuk warna merah dan bernilai a dari 0-(-80)
untuk warna hijau. Nilai
b positif berkisar antara 0 sampai +70 yang menyatakan intensitas warna kuning
sedangkan nilai b negatif yang menyatakan intensitas warna biru berkisar antara
0 sampai -80.
Gambar 3. Indeks Warna L, a, dan b
3.4.4.2. Tekstur
Bahan
Alat yang digunakan
untuk mengukur tekstur jamur merang
adalah penetrometer.
3.4.5. Penentuan
Umur Simpan dengan pendekatan Arrhenius
Persamaan Arrhenius, seperti di bawah ini :
k = ko.e-(Ea/RT)
...................................................................... (11)
Dimana:
k =
Konstanta kecepatan reaksi
ko = Konstanta pre-eksponensial
Ea = Energi aktivasi (kal/mol)
R = Konstanta gas 1.986 (kal/mol)
T = Suhu Mutlak
(K)
Persamaan di atas dapat diubah menjadi :
ln k = ln
ko-(Ea/RT) ............................................................ (12)
3.4.5.1. Reaksi Ordo Nol (Fiardy, 2013)
Tipe kerusakan bahan
pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi reaksi kerusakan
enzimatis, pencoklatan enzimatis dan oksidasi (Labuza, 1982). Penurunan mutu ordo reaksi nol adalah penurunan mutu yang
konstan. Kecepatan penurunan mutu tersebut berlangsung tetap pada suhu konstan
dan digambarkan dengan persamaan berikut:
........................................................................... (13)
Untuk menentukan jumlah kehilangan mutu, maka
dilakukan integrasi terhadap persamaan:
................................................................. (14)
Keterangan:
At = jumlah A pada awal waktu t
Ao = jumlah awal A
3.4.5.2. Reaksi Ordo Satu (Fiardy, 2013)
Tipe kerusakan bahan
pangan yang mengikuti kinetika reaksi ordo satu meliputi: ketengikan,
pertumbuhan mikroba, produksi off-flavor (penyimpangan flavor) oleh
mikroba pada daging,
ikan, dan unggas, kerusakan
vitamin, penurunan mutu protein,
dan lain sebagainya (Labuza, 1982). Persamaan reaksinya:
...................................................................... (15)

Keterangan:
At =
jumlah A pada awal waktu t
Ao =
jumlah awal A
3.5.
Prosedur
Penelitian
Adapun prosedur pengemasan dan pendinginan jamur
merang :
1. Disiapkan
alat-alat penelitian seperti lemari pendingin, pengemas polyethylen.
2. Disiapkan
bahan yang digunakan yaitu jamur merang.
3. Dibersihkan
dan dipilih jamur merang
dari kotoran yang masih menempel.
4. Diukur
suhu dalam ruangan.
5. Ditimbang jamur merang masing-masing perlakuan.
6. Dimasukkan
jamur merang kedalam pengemas polyethylen.
7. Disimpan jamur merang tanpa pengemas pada suhu ruang sebagai
kontrol (P0)
8. Disimpan jamur merang dengan pengemas polyethylen
pada suhu
ruang (P1).
9. Disimpan jamur merang dengan pengemas polyethylen
kedalam
lemari pendingin dengan
suhu 10oC (P2).
10. Diukur
Laju Respirasi, Kadar Air,
Susut Bobot dan Perubahan Sifat
Fisik (Warna dan Tekstur)
bahan selama penyimpanan.
11. Dilakukan
pengambilan data setiap hari
sampai
terjadi pembusukan pada bahan.
12.
Dicatat data hasil penelitian pada tabel data hasil penelitian.
3.5.1. Prosedur Pengukuran Laju Respirasi
Adapun prosedur
kerja pada proses laju respirasi sebagai berikut :
1. Ditimbang
masing-masing bahan
2. Dimasukkan
larutan NaOH 2N sebanyak 100 ml (erlenmeyer
I), Ca(OH)2 1% sebanyak 100 ml (erlenmeyer
II) dan NaOH 0,1N sebanyak 25 ml (erlenmeyer III dan IV).
3. Dimasukkan
bahan pada Tupperware.
4. Dihubungkan
alat-alat respirasi dan dijalankan vakum
pum selama 30 menit.
5. Diambil
NaOH 0,1N (erlenmeyer III dan IV) ditambahkan
dengan indicator
pp.
6. Dititrasi
dengan larutan HCl 0,1N sampai titik ekivalen.
7. Ditetapkan
kadar CO2 blanko yaitu dengan menambahkan indikator pp dan mentitrasi dengan larutan
HCl 0,1N.
8. Dihitung
hasil akhir dengan rumus yang sudah ditetapkan ( Persamaan 9)
3.5.2. Prosedur Pengukuran
Susut Bobot Jamur Merang
Prosedur kerja
pengukuran susut bobot jamur merang
yaitu sebagai berikut:
1. Disiapkan
jamur merang untuk masing-masing perlakuan.
2. Ditimbang jamur merang pada setiap
perlakuan dengan
massa awal 50 gram sebelum
dilakukan penyimpanan.
3. Disimpan
jamur merang pada setiap perlakuan
penyimpanan.
4. Ditimbang jamur merang
setelah dilakukan penyimpanan pada hari ke-1, ke-2, ke-3 sampai hari ke-n sampai terjadi perubahan fisik pada jamur merang.
3.5.3. Prosedur Pengukuran
Indeks Warna Pada Jamur Merang
Berikut ini
langkah-langkah mengukur warna jamur
merang :
1. Disiapkan
alat dan bahan
2.
Dikalibrasi
alat Hunter Lab atau color solid terlebih dahulu
3. Diarahkan
bahan satu persatu kearah lensa alat pada 3 bagian yang berbeda (bagian atas,
samping kiri dan kanan).
4. Dibiarkan
alat membaca warna bahan
secara otomatis
5. Dicatat
hasil yang ditunjukkan oleh alat yaitu nilai L, a
dan b
3.5.4. Prosedur Pengukuran
Tekstur Jamur Merang
Berikut langkah-langkah
dalam mengukur tekstur jamur merang :
1. Disiapkan
alat penetrometer dan bahan.
2. Ditancapkan
alat penetrometer
ke masing-masing bahan pada tiga bagian berbeda (bagian atas, samping kiri dan
samping kanan).
3. Dicatat
nilai kekerasan bahan yang ditunjukkan pada alat penetrometer
3.5.5. Prosedur Pendugaan
Umur Simpan Jamur Merang
Tahap-tahap pendugaan umur simpan produk dengan menggunakan
persamaan Arrhenius sebagai berikut :
1. Memplot data hasil analisis dengan waktu penyimpanan pada orde nol (persamaan
linier) dan orde satu (persamaan eksponensial).
2. Memilih orde reaksi yang akan digunakan berdasarkan nilai R2 terbesar
dari persamaan yang dihasilkan pada tahap sebelumnya.
3. Mentabulasikan nilai parameter persamaan Arrhenius : k, ln k, dan
1/T (K) dan memplotkannya dengan ln k sebagai variabel sumbu y dan 1/T sebagai
variabel sumbu x.
4. Menentukan nilai ko dan k masing - masing
suhu penyimpanan dengan bantuan persamaan Arrhenius.
ln k = ln ko-(Ea/RT) ....................................................... (17)
5. Menghitung umur simpan. Umur simpan Jamur Merang dihitung dengan menggunakan persamaan
kinetika reaksi ordo nol t = (A0-At)/ k atau ordo satu t = (ln A0 -ln At)/ k (t
merupakan umur simpan produk).
3.6. Analisis
Data
Data hasil penelitian ini ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Data
yang dihasilkan dianalisis menggunakan analisis regresi.
![]() |
Gambar
3. Diagram Alir Penentuan Nilai Kadar Air
Bahan
Gambar 4.
Diagram Alir Penelitian
BAB IV
HASIL
PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1.
Kadar
Air Bahan
Bahan yang digunakan dalam proses
penyimpanan ini yaitu jamur merang.
Kemudian diberikan tiga jenis perlakuan yaitu penyimpanan pada suhu 29oC (P0), penyimpanan dengan pengemas polyethylen
dengan suhu awal sama dengan suhu ruang 29oC (P1) dan penyimpanan dengan lemari
pendingin pada suhu 10oC (P2).
Kadar air merupakan kandungan air yang
terdapat pada bahan. Kadar air dapat menjadi salah satu parameter dari
mutu jamur merang. Kadar
air jamur merang sangat tinggi yaitu 88-93 %. Kadar
air yang diukur merupakan kadar air keseluruhan dari satu buah jamur merang.
Selama penyimpanan kandungan air pada bahan berkurang akibat proses penguapan,
transpirasi, dan respirasi. Dari
hasil analisa dan data perhitungan diperoleh
kandungan kadar air pada bahan dapat
dilihat pada Gambar 5,
sedangkan data hasil pengukuran kadar air dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Gambar
5. Grafik Kadar air jamur merang selama penyimpanan.
Kadar air yang disimpan
pada suhu ruang (P0) terus menurun selama penyimpanan. Penurunan kadar air pada suhu
ruang merupakan penurunan yang terbesar dibanding perlakuan lainnya. Hal ini
disebabkan karena laju respirasi pada suhu ruang juga merupakan yang tertinggi
dibandingkan kedua perlakuan lainnya sehingga proses kehilangan air dari bahan
lebih besar. Sedangkan kadar air pada
jamur merang yang dikemas dengan
pengemas polyethylen dan disimpan pada lemari pendingin pada
suhu 10oC (P2) relatif kecil dan cenderung konstan. Penurunan kadar air pada penyimpanan suhu 10oC relatif kecil
karena laju respirasi bahan pada suhu tersebut merupakan yang paling rendah
dibandingkan dua perlakuan lainnya sehingga kehilangan air pada bahan sangat
sedikit. Kadar air jamur merang yang dikemas dengan pengemas polyethylen dan disimpan pada suhu 29oC (P1) juga mengalami
penurunan. Kadar air pada bahan terus mengalami penurunan hingga terjadinya
kebusukan. Penurunan kadar air pada P1 lebih besar dibandingkan
dengan P2. Hal ini disebabkan karena air mengalami kondensasi
dalam kemasan dan tertampung pada wadah penyimpanan sehingga memungkinkan air
tersebut masuk kembali ke dalam badan jamur sehingga penurunan kadar air yang
dialami cukup kecil. Air yang tidak masuk kembali ke dalam bahan menjadi tempat
bagi mikroorganisme untuk tumbuh sehingga jamur hanya dapat disimpan selama dua
hari pada suhu ruang
dengan kemasan polyethylen (P1).
Perlakuan
terbaik didapatkan pada perlakuan menggunakan kemasan polyethylen pada suhu 10oC (P2), hal ini menunjukkan
bahwa dengan menggunakan kemasan polyethylen
(PE) selama penyimpanan dapat menghambat terjadinya penguapan air, sehingga penyimpanan jamur merang dengan kemasan polyethylen
pada suhu 10oC (P2) sangat baik untuk diterapkan karena
mampu mempertahankan kesegaran dilihat
dari rendahnya persentase penurunan kadar air selama penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiersema (1989), yang
menyatakan bahwa semakin rendah suhu penyimpanan maka ada kecenderungan kadar
air semakin besar. Hal ini disebabkan oleh pendinginan yang dapat memperlambat
kecepatan reaksi-reaksi metabolisme, dimana pada umumnya setiap penurunan suhu 8oC
kecepatan reaksi akan berkurang menjadi kira-kira setengahnya. Penurunan suhu
cenderung menurunkan penguapan bahan.
4.2.
Susut Bobot
Susut bobot merupakan salah satu
kriteria dalam menentukan kualitas suatu produk. Apabila persentase susut bobot
dari suatu produk selama proses penyimpanan semakin kecil, maka kualitas dari
produk tersebut akan semakin baik. Sebaliknya, apabila peresentase susut bobot
dari suatu produk semakin besar, maka kualitas produk tersebut akan semakin
rendah. Susut bobot disebabkan oleh adanya kehilangan air dari bahan melalui
proses penguapan, transpirasi, maupun respirasi.
Peningkatan susut bobot berjalan sesuai
dengan penurunan kadar air. Karena dengan berkurangnya kadar air pada jamur akan menurunkan beratnya, sehingga makin
rendah kadar air bahan maka susut beratnya semakin meningkat. Hasil pengukuran susut bobot jamur merang selama penelitian dapat
dilihat pada Gambar 6
dan Lampiran 2.
Gambar 6. Grafik
susut bobot jamur merang segar selama penyimpanan
Secara
keseluruhan pada semua perlakuan persentase susut bobot jamur merang mengalami
kenaikan. Hal ini menunjukkan bahwa jamur merang tetap mengalami kehilangan air
walaupun telah disimpan pada penyimpanan dingin dengan laju respirasi yang
lebih rendah daripada suhu ruang. Menurut Roiyana et.al (2012), kehilangan bobot bahan selama proses penyimpanan dapat
disebabkan oleh kehilangan air melalui proses respirasi dan transpirasi. Susut bobot
terjadi karena penguapan air dari bahan yang disebabkan oleh RH lingkungan yang
rendah atau berfluktuasi selama penyimpanan yang tinggi. Semakin tinggi suhu
penyimpanan maka susut bobot akan semakin besar apabila disimpan pada jumlah
hari penyimpanan yang sama.
Dari Gambar 6 dapat dilihat kenaikan susut bobot
tertinggi yaitu pada penyimpanan suhu ruang dengan nilai 20,92%.
Susut bobot pada suhu ruang 29oC lebih
besar dibanding dua perlakuan lainnya. Tingginya susut bobot pada penyimpanan
suhu ruang disebabkan oleh meningkatnya penguapan air bahan karena suhu yang tinggi. Susut
bobot sangat erat kaitannya dengan tinggi rendahnya kehilangan air yang dialami
oleh bahan.
Semakin tinggi kehilangan air yang dialami oleh bahan maka semakin tinggi juga susut
bobot dari bahan tersebut. Tingginya susut bobot pada
penyimpanan suhu ruang mengakibatkan jamur merang cepat mengalami pengkerutan, kerusakan
dan pembusukan.
Penyimpanan
dengan pengemas polyetilen pada
suhu ruang (P1) didapat nilai susut bobotnya yaitu 2,56%. Sifat dari plastik pengemas polyetilen ini yaitu kedap udara
sehingga dapat menghambat transpirasi pada bahan. Selain itu, uap air sebagai hasil respirasi juga dapat ditahan
sehingga air masih tertampung didalam kemasan. Karena jamur merang memiliki tekstur yang lunak diduga air yang
tertampung didalam kemasan
terserap kembali sehingga penurunan berat bahan menjadi rendah.
Sedangkan nilai susut bobot yang terendah diperoleh
pada penyimpanan dengan lemari
pendingin pada suhu 10oC (P2) dengan nilai 1,40%. Kenaikan susut bobot yang kecil
pada penyimpanan P2 ini disebabkan
karena kehilangan air pada jamur
merang
sangat kecil akibat suhu penyimpanan yang rendah (dingin). Rendahnya nilai
susut bobot pada penyimpanan dengan
lemari pendingin pada
suhu 10oC (P2) menandakan bahwa jenis penyimpanan
ini dapat memperpanjang umur simpan jamur
merang. Penyimpanan pada suhu rendah mampu menurunkan laju
respirasi dan mengurangi kehilangan air. Berdasarkan hasil data dan perhitungan
dapat dilihat bahwa penyimpanan dengan lemari pendingin pada suhu 10oC (P2) mampu menghambat terjadinya penurunan bobot jamur
merang.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Muchtadi
(1992), kehilangan berat bahan selama proses penyimpanan disebabkan terutama
oleh kehilangan air melalui proses transpirasi. Susut berat
terjadi karena penguapan air dari bahan yang disebabkan oleh RH lingkungan yang
rendah atau fluktuasi selama penyimpanan yang tinggi. Kehilangan
berat yang lebih besar terjadi pada suhu yang lebih tinggi.
4.3.
Laju
Respirasi
Laju respirasi adalah faktor penting yang berhubungan dengan tingkat
perubahan kualitas produk segar. Laju respirasi sering digunakan sebagai indeks
yang baik untuk menentukan umur simpan produk hortikultura setelah panen
terutama laju produksi gas CO2 nya. Jamur merang tergolong produk yang memiliki laju
respirasi tinggi sehingga setelah panen akan cepat mengalami kerusakan. Laju respirasi
yang tinggi biasanya dihubungkan dengan umur simpan yang pendek dan menyebabkan
mutu produk cepat menurun. Semakin tinggi laju respirasi suatu bahan maka biasanya
umur simpannya akan lebih pendek. Dari hasil analisa dan data perhitungan diperoleh
laju respirasi pada bahan dapat
dilihat pada Gambar 7,
sedangkan data hasil pengukuran kadar air dapat
dilihat pada Lampiran
3.
Gambar 7. Grafik Laju Respirasi Jamur Merang Selama Penyimpanan.
Hasil pengukuran laju
respirasi jamur merang yang
dimana nilai
respirasi tertinggi ketiga perlakuan
yaitu
pada penyimpanan pada suhu ruang
(P0). Selama
proses penyimpanan berlangsung,
dimana puncak respirasi yaitu pada hari ke-2 dan mengalami penurunan pada hari ke-3. Sehingga diperoleh nilai puncak
respirasi sebesar 0,4984
ml ɛCO2/gr
dan di hari ke-3
mengalami penurunan menjadi 0,3079 ml ɛCO2/gr, kemudian untuk perlakuan penyimpanan dengan
pengemas polyethylen
dengan suhu awal sama dengan suhu ruang 29oC (P1) puncak respirasinya pada hari ke-1 yaitu 0,3126 ml ɛCO2/gr dan mengalami penurunan di hari ke-2 menjadi 0,2460 ml ɛCO2/gr. Sedangkan untuk dan penyimpanan dengan lemari pendingin pada suhu 10oC (P2) nilai puncak respirasinya yaitu 0,2855
mlɛCO2/gr
pada hari ke-1 dan mengalami penurunan
di hari ke-2
menjadi 0,2764
ml ɛCO2/gr.
Pada suhu
ruang (P0), laju respirasi
meningkat pada hari ke-1 dan ke-2 setelah
pemanenan kerena jamur merang masih melakukan proses metabolisme. Tingginya
laju respirasi pada hari ke-1 dan ke-2 penyimpanan menujukkan titik optimum
penyimpanan jamur merang pada suhu ruang sebelum mengalami kerusakan dan
penurunan mutu. Pengukuran laju respirasi pada suhu ruang pada hari ke-3 menurun.
Menurunnya laju respirasi menujukkan bahwa jamur sudah kehabisan substrat yang
akan dirombak pada proses respirasi. Habisnya subtrat berdampak pada menurunnya
kesegaran dan kualitas dari jamur merang.
Pada suhu 10oC (P2), laju respirasi mengalami
penurunan pada hari ke-2 penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa laju respirasi dapat
dikurangi melalui penyimpanan dingin. Jamur merang yang disimpan pada suhu 10oC
mengalami peningkatan metabolisme pada hari ke-1
penyimpanan. Hari penyimpanan ke-1 jamur merang pada suhu 10oC merupakan
titik optimum waktu penyimpanan sebelum jamur merang mengalami penurunan
kualitas. Laju respirasi kembali menurun pada hari ke-2
penyimpanan yang mengindikasikan bahwa jamur sudah mengalami penurunan mutu
pada suhu 10oC. Selama penyimpanan pola respirasi menggunakan kemasan polyethylen baik pada suhu ruang (P1)
ataupun pada suhu 10oC (P2) cenderung lambat, hal ini disebabkan
karena sifat dan ketebalan dari kemasan, dimana ketebalan pada kemasan polyethylen yaitu 0,05 mm. Kemasan
mempunyai kemampuan untuk menahan laju keluar masuknya gas, sehingga jika
digunakan untuk mengemas bahan maka mampu memperkecil terjadinya pertukaran
udara lingkungan dengan udara dalam kemasan. Dengan meminimalkan terjadinya
kontak bahan dengan udara luar maka proses respirasi bahan dapat dihambat
sehingga kadar air bahan dapat dipertahankan dalam keadaan segar.
Penyimpanan menggunakan kemasan polyethylen
pada suhu ruang (P1) cenderung mengalami
penurunan dari awal penyimpanan hingga mengalami kebusukan pada hari ke-2. Hal ini
disebabkan karena air mengalami kondensasi dalam kemasan dan
tertampung pada wadah penyimpanan. Air yang keluar terkondensasi dalam kemasan sehingga
menjadi media bagi mikroba untuk tumbuh sehingga mempercepat proses pembusukan.
Mikroba akan melakukan proses metabolisme sehingga menghasilkan senyawa-senyawa
asam yang menjadi penyebab dari penyimpangan bau. Penyimpangan bau pada jamur
merang dapat menjadi indikasi dari kerusakan produk. Jamur merang yang telah
mengalami kerusakan akan berbau busuk diikuti dengan berairnya jamur merang
tersebut. Penyimpangan bau dapat terjadi akibat proses oksidasi lemak dalam
jamur merang karena kehadiran asam lemak tak jenuh akibat oksidasi protein
maupun berkembangnya mikroorganisme yang menyebabkan pembusukan.
Fakor yang
mempengaruhi besarnya laju respirasi pada bahan pangan adalah suhu penyimpanan.
Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju respirasi semakin meningkat. Faktor
lain yang berpengaruh adalah jumlah oksigen yang tersedia. Semakin lama waktu
penyimpanan maka laju komsumsi oksigen semakin menurun. Hasil ini sesuai dengan
pendapat Muchtadi (1992) yang menyatakan bahwa penyimpanan suhu rendah dapat
menekan kecepatan respirasi sehingga proses ini berjalan lambat dan daya simpan
bahan
dapat diperpanjang. Dimana proses repirasi bahan dapat diperlambat pada suhu rendah.
4.4.
Indeks
Warna
Parameter perubahan warna merupakan
parameter yang penting dalam penentuan kelayakan produk untuk dikonsumsi. Jamur
merang akan mengalami perubahan warna seiring dengan penyimpanan produk, baik
pada suhu ruang maupun pada suhu dingin. Perubahan warna dilihat
berdasarkan kenaikan dan penurunan nilai L(menunjukkan kecerahan warna menuju
pucat), a (menunjukkan perubahan warna hijau ke merah), dan b (menunjukkan
perubahan warna biru menjadi kuning). Parameter
dalam perubahan warna jamur
merang yang paling penting yaitu tingkat kecerahan (L).
Data hasil
penelitian menunjukkan perubahan warna (L*) jamur merang selama penyimpanan
mengalami penurunan, baik jamur merang yang disimpan pada suhu
ruang (29oC), penyimpanan
dengan pengemas polyetilen, maupun
penyimpanan dengan lemari pendingin pada
suhu 10oC. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8 dan lampiran 4.
Gambar 8. Grafik Perubahan Kecerahan (Nilai L*) Jamur Merang
Hasil pengukuran nilai kecerahan (Nilai L*) jamur merang ditampilkan
pada Gambar 8
diatas.
Sehingga dapat diketahui bahwa nilai kecerahan ketiga perlakuan mengalami penurunan selama penyimpanan, hal ini menandakan bahwa warna jamur merang semakin gelap dan
mendekati kerusakan. Hasil
penelitian menunjukkan tingginya nilai kecerahan pada penyimpanan
dengan lemari pendingin pada suhu 10oC (P2) dengan nilai sebesar 46,75 menandakan bahwa warna buah masih
cerah dan tergolong masih segar. Hal ini disebabkan karena pada suhu rendah
proses perombakan zat warna bahan
dapat diperlambat. Sehingga
penyimpanan dengan lemari
pendingin pada suhu 10oC (P2) ini berpotensi memperpanjang umur
simpan buah. Pada penyimpanan
di suhu ruang (P0) juga memiliki nilai kecerahan yang tinggi. Perlakuan P0
seharusnya memiliki nilai kecerahan di bawah perlakuan P2, karena pada suhu
ruang / kontrol kadar air jamur merang sangat sedikit sehingga warna jamur
merang seharusnya menurun/ warna jamur akan memucat.
Sedangkan
nilai kecerahan terendah diakhir penyimpanan diperoleh pada penyimpanan
pengemas polyethylen
pada suhu ruang (P1) dengan nilai sebesar 34,62. Semakin menurunnya nilai kecerahan pada jamur merang menandakan bahwa bahan mengalami perubahan warna yang
semakin gelap (perubahan warna mendekati warna coklat kehitaman) dan merupakan
pertanda bahwa bahan
semakin
mendekati kerusakan atau kebusukan. Hasil ini disebabkan karena penurunan nilai
kecerahan berbanding terbalik dengan peningkatan suhu ruang penyimpanan. Dimana
pada suhu yang tinggi, nilai kecerahan akan mengalami penurunan, karena suhu
tinggi dapat memacu proses metabolisme dalam bahan seperti respirasi, transpirasi dan
perombakan (degradasi) zat warna dalam bahan.
Nilai a menyatakan warna kromatik merah hijau dimana
nilai positif (+) a menyatakan warna merah dan nilai negatif (-) menyatakan
warna hijau. Data hasil
penelitian menunjukkan perubahan warna (a) jamur merang selama penyimpanan
tidak terlalu mempengaruhi hasil penenlitian. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Grafik
Perubahan Nilai
Hijau Merah (Nilai a*) Jamur
Merang
Didapatkan nilai a semakin meningkat yang menandakan jamur merang semakin
mendekati nilai warna kemerahan menuju pembusukan. Semakin lama jamur merang
disimpan maka semakin cepat proses pembusukan yang terjadi. Jamur merang semakin
berwarna kemerahan menandakan
jamur merang semakin mendekati kerusakan serta pembusukan.
Nilai b menyatakan
warna kromatik kuning biru, nilai positif (+) b menunjukkan warna kuning dan
nilai negatif (-) menyatakan warna biru. Data hasil penelitian menunjukkan perubahan warna (b*) jamur merang
selama penyimpanan mengalami kenaikan. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 10. Grafik
Perubahan Nilai
Kuning Biru (Nilai b*) Jamur
Merang
Dari gambar 10, terlihat bahwa rata-rata nilai b
mengalami kenaikan. Pada
perlakuan suhu dingin 10oC menggunakan bahan pengemas polyethylen (P2) kenaikan setelah
disimpan selama 4 hari sebesar 24,02 dan pada perlakuan bahan pengemas polyethylen pada suhu ruang (P1) sebesar
27,51 sedangkan pada perlakuan suhu ruang 29oC kenaikan nilainya
sebesar 27,13. Kenaikan nilai tertinggi pada kontrol tanpa perlakuan (P0).
Sedangkan kenaikan terendah terdapat pada perlakuan suhu 10oC dengan
bahan pengemas polyethylene (P2).
Nilai kuning biru yang
semakin meningkat
menandakan bahwa jamur merang
sudah mulai mengalami perubahan warna menjadi kuning gelap kehitaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahmawati (2008), bahwa
pencoklatan merupakan proses pembentukan pigmen berwarna kuning yang akan
segera berubah menjadi warna coklat gelap. pembentukan warna coklat ini dapat
dipicu oleh adanya reaksi oksidasi yang dikatalis oleh enzim fenol oksidase
atau polifenoloksidase. Pada suhu 10oC peningkatannya lebih lambat disebabkan oleh penghambatan
kerusakan jamur merang.
4.5.
Tekstur
Jamur Merang
Salah satu aktivitas
fisiologis yang terjadi sebagai akibat langsung dari kehilangan air pada bahan yaitu perubahan tekstur, dimana pada jamur merang yaitu menurunnya
tingkat kekerasan. Kekerasan merupakan
salah satu parameter dalam penentuan kerusakan dari jamur merang. Menurut
Novianti et al. (2010), penurunan tingkat kekerasan dari jamur merang
diduga disebabkan oleh penurunan kadar air pada bahan sehingga terjadi
perubahan pada komponen penyusun dinding sel sehingga turgor sel menurun.
Penurunan turgor sel ini menyebabkan kekerasan ikut menurun. Selain disebabkan
oleh penurunan kadar air, aktivitas mikroba juga menjadi penyebab menurunnya
tingkat kekerasan dari jamur merang yang berperan dalam mempercepat proses
pembusukan jamur merang.
Nilai tekstur jamur merang didapatkan dari pengamatan dengan menggunakan
penetrometer. Prinsip kerja alat ini adalah dengan menentukan besarnya tekanan
yang dibutuhkan jarum untuk masuk kedalam jamur merang. Berdasarkan analisa kekerasan, jamur merang cenderung mengalami penurunan pada suhu ruang maupun
suhu dingin. Hal
tersebut dapat dilihat pada Gambar 11 dan Lampiran 5.
Gambar 11. Grafik Tekstur jamur merang selama penyimpanan
Sesuai Gambar 11 dapat diketahui bahwa nilai kekerasan
ketiga perlakuan
mengalami penurunan seiring dengan bertambah lamanya proses penyimpanan. Penurunan nilai kekerasan terbesar dari
ketiga perlakuan di
akhir penyimpanan yaitu pada penyimpanan suhu ruang dengan nilai 0,12
mm untuk, 0,01
mm untuk P1
dan 0,35 mm
untuk P2. Kekerasan pada penyimpanan pada suhu 29oC (P0) dan penyimpanan dengan
pengemas polyethylen
dengan suhu ruang 29oC
(P1) mengalami penurunan
yang cukup tajam pada hari ke-1 penyimpanan. Kekerasan kembali mengalami
penurunan setiap
hari selama penyimpanan pada kedua perlakuan tersebut.
Sedangkan penurunan nilai
kekerasan terkecil dari ketiga perlakuan
terjadi pada penyimpanan dengan
lemari pendingin pada
suhu 10oC (P2) dengan nilai yaitu 0,35
mm. Rendahnya penurunan nilai kekerasan dipengaruhi oleh suhu dalam ruang
penyimpanan yang cukup rendah sehingga mampu memperlambat proses kimia. suhu di dalam ruang penyimpanan dengan lemari
pendingin pada suhu 10oC (P2) yang
tetap dingin mengakibatkan proses penguapan air (transpirasi) dari bahan
dapat diperlambat sehingga penuruan kekerasan bahan
lebih rendah. Hasil ini sesuai dengan pendapat Kitinoja dan adel (2003), suhu rendah sangat mempengaruhi perubahan
nilai kekerasan buah. Semakin rendah suhu penyimpanan maka semakin lambat
penurunan nilai kekerasan bahan.
4.6.
Pendugaan Umur Simpan Dengan Metode Arrhenius
Parameter yang dapat digunakan pada
penelitian ini untuk menduga umur simpan jamur merang dengan Persamaan
Arrhenius adalah kadar air, susut bobot, laju respirasi, perubahan warna
kecerahan (nilai L), dan tekstur jamur merang. Penentuan umur simpan ditentukan
dengan membuat persamaan regresi linier dari grafik masing-masing parameter
terhadap waktu penyimpanan. Penentuan regresi linier pada ordo nol meliputi
hubungan antara nilai kadar air dengan lama penyimpanan, sedangkan nilai
regresi linier ordo satu meliputi hubungan antara nilai logaritma natural
parameter kadar air dengan umur penyimpanan produk.
Penetapan
orde reaksi ini berkaitan dengan laju perubahan mutu. Pemilihan orde reaksi
dilakukan dengan memplotkan data penurunan mutu mengikuti orde reaksi nol dan
orde reaksi satu kemudian dibuat persamaan regresi linearnya. Orde reaksi
terpilih adalah orde reaksi dengan nilai R2 terbesar. Apabila nilai
R2 semakin mendekati 1, korelasi antardata akan semakin baik. Nilai
persamaan grafik dan nilai R2 parameter mutu di berbagai penyimpanan masing-masing dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Hasil regresi linier parameter mutu jamur merang
Berdasarkan masing-masing nilai regresi
linier dari masing-masing parameter yang digunakan dapat ditentukan nilai
gradien k. Nilai gradien k yang diperoleh kemudian diterapkan kedalam Persamaan
Arrhenius yaitu k=k0.eEa/R(1/T). Nilai gradien
tersebut kemudian diubah menjadi nilai ln gradien k. Nilai ln gradien k
diplotkan kedalam grafik untuk mencari nilai regresi linier hubungan antara 1/T
dengan nilai ln gradien k. Berdasarkan persamaan regresi linier yang diperoleh
dapat ditentukan nilai energi aktivasi, R2, dan
konstanta preeksponensial (k0) dari setiap parameter dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai energi aktivasi, R2, dan k0
setiap parameter mutu jamur merang
Pendugaan umur simpan jamur merang dapat
diperoleh berdasarkan persamaan 11 dengan mengikuti reaksi ordo terpilih. Hasil
pendugaan umur simpan pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3.
Hasil pendugaan umur simpan dengan persamaan arhenius
Hasil pendugaan umur simpan pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada
Tabel 3. Parameter kadar air dapat diduga umur simpan pada suhu ruang selama
0,4 hari atau 9,6 jam, sedangkan pada suhu 10oC
selama 4 hari. Pada parameter susut bobot dapat diduga umur simpan pada suhu
ruang selama 3 hari, sedangkan pada suhu 10oC
selama 16 hari. Pada parameter laju respirasi dapat diduga umur simpan pada
suhu ruang selama 4 hari, sedangkan pada suhu 10oC
selama 11 hari. Pada parameter warna (Nilai L) dapat diduga umur simpan pada
suhu ruang selama 3 hari, sedangkan pada suhu 10oC
selama 6 hari. Dan untuk parameter tekstur dapat diduga umur simpan pada suhu
ruang selama 3 hari, sedangkan pada suhu 10oC
selama 8 hari.
Urutan yang memberikan umur simpan terbaik
bagi jamur merang berdasarkan parameter mutu adalah parameter susut bobot, laju
respirasi, tekstur, warna (nilai L) dan kadar air. Selain itu, penyimpanan pada
suhu rendah (10oC) juga memberikan umur simpan yang lebih besar
dibanding penyimpanan pada suhu ruang (29oC). Nilai umur simpan
jamur merang tanpa perlakuan lebih singkat bila dibandingkan dengan jamur
merang dengan pendinginan. Hal ini disebabkan karena proses pendinginan
memperlambat terjadinya kerusakan pada jamur merang.
BAB V
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan
dan pembahasan yang diperoleh didalam penelitian ini maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Penurunan
kadar air jamur merang terendah
yaitu pada perlakuan
menggunakan kemasan polyethylene pada
suhu 10oC sebesar 88,24%, sedangkan penurunan
tertinggi yaitu pada penyimpanan jamur
merang pada suhu ruang sebesar 36,04%.
2. Tingginya
persentase susut bobot ketiga
jenis
perlakuan dipengaruhi oleh jumlah kadar air
dalam bahan
yang di uapkan
selama proses penyimpanan.
3. Suhu yang dikombinasikan dengan kemasan dapat mengurangi
kecepatan reaksi respirasi karena pertukaran udara dilingkungan dengan udara di
dalam kemasan dapat ditekan. Respirasi tertinggi terjadi pada penyimpanan suhu ruang/kontrol yaitu pada hari ke-2 dengan nilai 0.4984 ml ɛ CO2/gr, dan yang terendah yaitu pada akhir penyimpana pada semua perlakuan.
4. Tekstur jamur merang pada
seluruh perlakuan cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan yang dimana nilai kekerasan
terendah ketiga perlakuan
yaitu pada penyimpanan dengan
lemari pendingin pada suhu 10oC dengan nilai 0,35 mm.
5. Selama penyimpanan jamur merang, perlakuan terbaik yang
didapatkan yaitu pada perlakuan menggunakan kemasan polyethylene dengan penyimpanan di lemari pendingin pada
suhu 10oC sehingga mampu menekan penurunan susut bobot, kadar
air, laju respirasi, warna dan tekstur pada jamur merang.
6.
Berdasarkan Persamaan
Arhenius, dapat diduga umur simpan jamur merang pada suhu rendah (10oC)
memberikan umur simpan yang lebih besar dibanding penyimpanan pada suhu ruang
(29oC).
5.2.
Saran
Perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh berbagai jenis kemasan dan suhu
rendah terhadap penyimpanan jamur merang.
Ashari, S., 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI-Press,
Jakarta.
Cahyono, B., dan Dede, J. 2004. Sayuran Elite Jamur Merang : Budidaya, Pengembangan dan Potensi Pasar. CV Aneka. Solo.
Desrosier, N.W.,
1988. Teknologi Pengawetan Pangan.
Penerjemah: M. Muljohardjo. UI-Press, Jakarta.
Firman. 2012. Pengaruh Jenis Plastik Pembungkus pada
Penyimpanan Buah Rambutan (Naphelium
Lappaceum, Linn). Skripsi.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Hardenberg, R.E.,
1986. Dasar-dasar Pengemasan. Didalam
Pantastico, (Ed) Fisiologi Pasca Panen,
diterjemahkan oleh Kamariyani. UGM-Press, Yogyakarta.
Indartiyah dkk,
2011. Pedoman Teknologi Penanganan Pascapanen
Jamur. Direktorat Jenderal Hortikultura Dan Direktorat Budidaya Dan
Pascapanen Sayuran Dan Tanaman Obat Kementerian
Pertanian.
Karvina, Ayu, 2016. Karakteristik Sifat Teknik Buah Tomat (Solanum Lycopersicum) Selama
Penyimpanan Menggunakan Berbagai Kemasan. Universitas Mataram. Mataram.
Mahmud H. 2016. Respon Kualitas Jamur Merang (Volvariella Volvacea) Pada Berbagai
Suhu Penyimpanan [Skripsi]. Departemen Teknik
Mesin Dan Biosistem fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
Mau, J.L., Chyau, C.C., Li, J.Y., dan Tseng, Y.H. 1997. Flavor
Compounds in Straw
Mushrooms
Volvariella
volvacea Harvested at
Different Stages of Maturity. Journal of Agricultural Food Chemistry (45) : 4726-4729.
Muchtadi TR,
Sugyono.1992.
Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. IPB,
Bogor.
Noviawati E. 2010. Pendugaan
masa simpan jamur merang blansir dan pikel alam kemasan plastik dengan model
arhenius. Fakultas Teknologi Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Bogor.
Pantastico, ER.B.,
1997. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan
dan Pemanfaatan Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran Tropika dan Subtropika.
Penerjemah Kamariyani. UGM-Press, Yogyakarta.
Puguh, R. 2007. Pembuatan Hidrolisat Protein Jamur Merang (Vorvariella Volvaceae) secara Enzimatis dengan Variasi Suhu dan Lama Hidrolisis. Jember : Karya Tulis Ilmiah Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember.
Rahmawati F. 2008. Pengaruh
Vitamin C Terhadap Aktivitas Polifenol Oksidase Buah Apel Merah (Pyrus Malus)
Secara In Vitro. Skripsi. Universitas Muhammaddiyah Surakarta. Surakarta.
Roiyana M, Munifatul I, Erma P. 2012. Potensi dan efisiensi senyawa hidrokoloid
sebagai bahan penunda pematangan buah. J Anatom Fisiol. (20)2:40-50.
Sinaga, M.S. 2001. Jamur Merang dan Budidayanya.
Penebar
Swadaya.
Jakarta.
Sitinjak, K., 1993. Pasca Panen. Fakultas Pertanian USU,
Medan.
Sumiati E. dan Djuariah D., 2007.
Teknologi
Budidaya Dan Penanganan Pascapanen Jamur Merang
(Volvariella Volvacea). Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian
Dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian
Dan Pengembangan Pertanian.
Syarief et al. 1989. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit
Arcan. Jakarta.
Tim Penulis PS, 1992. Pascapanen Sayur. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Wiersema SG. 1989. Storage Requirement For Potato Tubers. International Potato Center
(CIP), Bangkok, Thailand.
Winarno, F.G. dan
B.S.L. Jennie, 1983. Kerusakan Bahan
Pangan dan Pencegahannya. Galia Indonesia. Jakarta.
Winarno FG, MA
Wirakartasumah. 1979.
Fisiologi Pasca Panen. PT. Sastra
Hudya.
Jakarta.
Yusanto. 2001. Penyimpanan Jamur Merang (Volvariella Volvacea) Dalam
Larutan Garam Dengan Kemasan Gelas Plastik [Tesis]. Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar